Badan amal tersebut mengatakan bahwa perolehan kekayaan tersebut setara dengan $42 triliun, hampir dua kali lipat dari penghasilan 99 persen populasi terbawah di dunia.
Oxfam mengatakan sebagian sumber kekayaan itu adalah uang pemerintah, likuiditas darurat yang dipompa ke ekonomi global ketika pandemi virus corona pada tahun 2020 memaksa negara-negara memberlakukan kebijakan lockdown – atau kebijakan menutup sebagian wilayah dan menghentikan sebagian kegiatan – untuk mencegah meluasnya perebakan virus mematikan itu.
“Ini penting. Tetapi pada saat yang sama, orang-orang yang sangat kaya dapat benar-benar memanfaatkan ledakan aset yang dihasilkannya, lonjakan pasar saham akibat hal itu. Tanpa pagar pembatas berupa pajak progresif dalam perekonomian, maka orang-orang yang sangat kaya akan benar-benar mampu memenuhi kantong mereka,” tambah Nabil Ahmed.
Menurut perhitungan Oxfam, sedikitnya 1,7 miliar pekerja saat ini tinggal di negara-negara di mana inflasi melebihi upah, yang berarti orang semakin miskin. Namun kekayaan para miliarder terus melonjak karena inflasi mendorong harga pangan dan energi.
“Kami dapat menunjukkan bagaimana 95 perusahaan pangan dan energi benar-benar dapat melipatgandakan keuntungan mereka pada tahun 2022 lalu.”
Penyelenggara Forum Ekonomi Dunia (WEF) bersikeras bahwa pertemuan tahunan itu menguntungkan semua pihak.
Presiden WEF Børge Brende mengatakan, “Begitu banyak hal yang dipertaruhkan. Kita benar-benar mencari solusi atas perang dan konflik. Kita juga harus memastikan agar tidak terjadi resesi. Selama sepuluh tahun terakhir ini kita mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah, seperti yang kami alami pada tahun 1970an. Hal ini dipertaruhkan, dan kita membutuhkan semua pemangku kepentingan untuk menjadi bagian dari upaya menuju ekonomi global yang tumbuh lebih aman dan lebih inklusif.”
Bank Dunia bulan Oktober lalu memperingatkan bahwa kemajuan dalam mengatasi kemiskinan ekstrem terhenti di tengah melonjaknya inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Lebih jauh Oxfam menyerukan pajak yang dikenakan pada perusahaan energi agar diperluas ke perusahaan makanan yang menghasilkan keuntungan besar. Badan itu juga menginginkan pajak hingga lima persen diterapkan pada multimiliuner dan miliarder dunia.
“Ketidaksetaraan ekstrem tidak bisa dihindari,” kata Nabil Ahmed kepada VOA. “Ini bukan tentang perawat, guru, kelas menengah. Ini benar-benar tentang mereka yang berada di puncak, memastikan agar mereka membayar pajak yang jauh lebih adil,” tandasnya. [vm/ka/em]
Sumber: VOA INDONESIA