Bukan PHK, 40% Warga AS Berniat Resign! Tanda Resesi ‘Palsu’?

Foto: Demo warga Michigan, Amerika Serikat wujud kekecewaan warga setelah Gubernur Michigan memerintahkan warga tetap di rumah guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19). (AP Photo/Paul Sancya)
Newestindonesia.com, Isu resesi yang akan dialami Amerika Serikat (AS) semakin menguat setelah inflasi masih tetap meninggi dan Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS semakin agresif menaikkan suku bunga.
Inflasi pada bulan Juni tercatat melesat 9,1% year-on-year (yoy) tertinggi dalam 41 satu tahun terakhir, padahal The Fed sudah menaikkan suku bunga 3 kali dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% – 1,75%.
Tak pelak, pasar memperkirakan The Fed akan semakin agresif di bulan ini, ada kemungkinan suku bunga dinaikkan hingga 100 basis poin menjadi 2,5% – 2,75%.

Dengan inflasi yang tinggi, daya beli masyarakat tentunya akan tergerus, padahal konsumsi rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian AS, dengan kontribusi sebesar 70% dari total produk domestik bruto (PDB).
Kemudian, suku bunga yang tinggi akan menghambat ekspansi dunia usaha.
Alhasil, resesi pun di depan mata.
Namun. tidak sedikit yang mendebat jika resesi di Negeri Paman Sam Tidak akan terjadi. Salah satu alasannya yakni pasar tenaga yang sangat kuat.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang bulan Juni perekonomian mampu menyerap 372.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP), jauh lebih tinggi dari estimasi Dow Jones sebesar 250.000 tenaga kerja.
Sementara itu tingkat pengangguran tetap 3,6%, dan rata-rata upah per jam naik 5,2% (yoy), juga lebih tinggi dari estimasi Dow Jones 5% (yoy).
Kepala ekonom Jefferies Group, Aneta Markowska, menjadi salah satu yang menyatakan resesi tidak akan terjadi. Ia berpendapat ramalan resesi itu “palsu”, Meski mengakui ekonomi AS kini mendapat sejumlah hambatan.
“Dengan kata lain, resesi saat ini hanya ada dalam imajinasi, bukan di dunia nyata,” katanya dalam sebuah laporan penelitian baru, melansir Fortune, Rabu (20/8/2022).
Ini bukan tanpa alasan. Menurutnya rumah tangga dan bisnis masih memiliki banyak uang tunai, yang membuat harga dan tingkat permintaan mereka tidak elastis dalam jangka pendek,
Indikator resesi lain seperti tingkat pengangguran juga tak akan terpenuhi. Ia menyakini masih ada jutaan lowongan pekerjaan dan tak akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran karena perusahaan masih mendapat margin.
Survei yang dilakukan McKinsey and Co. menunjukkan bukannya PHK malah 40% dari pekerja di Amerika Serikat mempertimbangkan mengundurkan diri dari pekerjaannya dalam 3 sampai 6 bulan ke depan. Padahal, isu resesi sedang panas-panasnya dibicarakan.
Dari yang menyatakan akan resign tersebut, sebanyak 48% menyatakan akan mencari peluang baru di industri yang berbeda yang lebih menjanjikan.
Hal ini tentunya mengindikasikan pasar tenaga kerja AS memang kuat, dan banyak terdapat lowongan pekerjaan.
Namun, survei yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda juga. Bloomberg mengutip hasil survei yang dilakukan CivicScience pada bulan lalu menunjukkan sepertiga warga Amerika Serikat percaya perekonomian sudah mengalami resesi saat ini.
Selain itu warga negeri Paman Sam saat ini merasa kondisi ekonomi saat ini lebih susah.

Hal tersebut terlihat dari Indeks Kesengsaraan (Misery Index) yang mengukur tingkat kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat juga mulai menanjak. Data ini dipublikasikan oleh Federal Reserve Economic Data (FRED), mencapai 12% pada Mei lalu.
Level yang sama terjadi pada awal pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) dan awal krisis finansial 2008.
Artinya, tingkat kesulitan ekonomi yang dirasakan sama seperti sebelum krisis finansial global dan awal pandemi Covid-19, dan keduanya berujung pada resesi Amerika Serikat.

Secara umum, suatu negara dikatakan mengalami resesi jika PDB berkontraksi dalam dua kuartal beruntun secara tahunan.
National Bureaus of Economic Research(NBER) AS memiliki definisi lain yang lebih komprehensif dalam memandang resesi.
Versi NBER resesi adalah penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.
Pasar tenaga kerja Amerika Serikat memang masih kuat, tetapi tidak dengan daya beli masyarakat.
Dengan inflasi yang mencapai 9,1% sementara rata-rata kenaikan upah 5,2%, artinya daya beli masyarakat tergerus cukup signifikan. Dengan kenaikan gaji bukannya bisa membeli lebih banyak barang, tetapi masih harus mengambil tabungan untuk memenuhi kebutuhan.

“Masyarakat semakin miskin. Jadi ini bukan resesi, tetapi benar-benar terasa seperti resesi,” kata Ludovic Subran, kepala ekonom di Allianz SE, sebagaimana dilansir Bloomberg, Rabu (6/7/2022).
Hal tersebut berdampak pada jebloknya tingkat keyakinan konsumen, dan kini tidak pede menatap perekonomian.
Conference Board kemarin melaporkan tingkat keyakinan konsumen Juni merosot menjadi 98,7, dari bulan sebelumnya 103,3. Penurunan tersebut membawa tingkat keyakinan konsumen ke titik terendah dalam 16 bulan terakhir.
Angka di bawah 100 menunjukkan konsumen pesimistis, sementara di atasnya optimistis.
“Prospek konsumen semakin suram akibat kekhawatiran akan inflasi, khususnya kenaikan harga gas dan makanan. Ekspektasi kini turun ke bawah 80, mengindikasikan pertumbuhan yang lebih lemah di semester II-2022, begitu juga adanya peningkatan risiko resesi di akhir tahun,” kata Lyyn Franco, direktur ekonomi Conference Board.
Jika kondisi tersebut terus berlanjut, apalagi dengan The Fed yang terus menaikkan suku bunga, maka risiko terjadinya resesi tentunya semakin membesar dan semakin cepat terjadi.
Sumber: CNBC INDONESIA