Ilustrasi minyak goreng langka. (ANTARA FOTO/Maulana Surya)
Newest Indonesia, Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga, Rahma Gafni mengatakan, bahwa permasalahan terkait kelangkaan minyak goreng terjadi saat ini karena Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuat kebijakan yang tidak tepat. “(Kemendag) ibarat orang yang kehilangan baju di rumah, tapi mencarinya di pantai,” kata Rahma kepada wartawan, Minggu (13/3).
Rahma menggambarkan, produksi CPO nasional sebesar 46,88 juta ton pada 2021, sementara untuk kebutuhan domestik 18,42 juta ton. Atas dasar itu, menurutnya masih ada sisa sekitar 28,5 juta ton yang seharusnya bisa untuk ekspor.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga, Rahma Gafni mengatakan, bahwa permasalahan terkait kelangkaan minyak goreng terjadi saat ini karena Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuat kebijakan yang tidak tepat.
“(Kemendag) ibarat orang yang kehilangan baju di rumah, tapi mencarinya di pantai,” kata Rahma kepada wartawan, Minggu (13/3).
Rahma menggambarkan, produksi CPO nasional sebesar 46,88 juta ton pada 2021, sementara untuk kebutuhan domestik 18,42 juta ton. Atas dasar itu, menurutnya masih ada sisa sekitar 28,5 juta ton yang seharusnya bisa untuk ekspor.
Menurut Rahma, CPO untuk kebijakan BioDiesel maupun untuk minyak goreng itu bukan persoalan utama. Saat ini ada sekitar enam produsen minyak goreng yang berhenti produksi, karena tidak mendapatkan pasokan CPO. “Masalah utamanya ada di titik ini. Jika produksi aman tentunya perlahan tapi pasti distribusi juga akan aman,” ujarnya.
Selain pasokan CPO yang dari pabrik kelapa sawit ke industri minyak goreng maupun Biodiesel permasalahannya lebih ke ekspor.
“Jadi kebijakan itu harus mengarah kepada kebijakan pemenuhan domestic lebih dahulu,” imbuhnya.
Mengenai maraknya penimbunan minyak goreng, juga harus segera ditangani. Misalnya dengan kerjasama melalui berbagai instansi lainnya untuk melakukan sidak.
Kini Kemendag juga telah menaikkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dari 20 persen menjadi 30 persen. Rahma menilai kebijakan tersebut akan berdampak pada penguatan stok domestik.
Namun, menurutnya, hal itu harus dibarengi dengan distribusi yang semakin baik dan terkontrol. Mengingat sebelumnya juga stok diklaim melimpah namun tidak ada di pasaran. Kenaikan DMO juga akan mengakibatkan harga global meningkat.
“Maka kenaikan DMO harus dikaji dulu secara mendetail, apakah kebijakan ini lebih menguntungkan bagi domestik, atau justru malah merugikan. Kajian Cost and Benefit harus dilakukan secara mendalam,” tutur Rahma.